Kau mirip dengan kekasih ku
Suasana sunyi. Hening. Tak ada derap kaki manusia berlalu lalang. Tak ada gelak tawa manusia bercanda riang. Namun, bukan tak ada manusia di sini. Di ruangan ini, orang-orang berjalan tanpa suara. Ya, aku tak mampu mendengar langkah mereka. Atau, aku memang tak mau mendengarnya. Sebab, sejak tadi, sejak aku berdiri di ruangan ini, pandanganku hanya tertuju pada seorang gadis—pada wajahnya. Aku tak peduli dengan sekelilingku.
Perlahan, aku digiring kesunyian mendekati gadis itu. Hingga kudapati wajahnya terlihat sangat jelas dari tempatku berdiri kini. Wajah yang tak asing, cantik, tapi tak kukenal.
“Hai!” sapaku pelan mencoba memulai pembicaraan.
Di luar dugaan, gadis itu diam saja. Sedikit pun tak dipalingkannya wajah ayu itu ke arahku. Kutunggu sesaat, tak jua kudapati balasan. Ya, gadis itu masih saja diam. Entah ia memang tak mendengar, atau pura-pura tak mendengar.
“Sejak tadi aku memperhatikanmu. Tatapanku tak mau lepas darimu walau sedetik pun,” kukatakan apa adanya.
“Awalnya, aku tak tahu mengapa. Sesaat tadi baru aku menyadarinya. Ya, aku baru sadar bahwa kau sangat mirip dengan Adindaku,” kukatakan dengan penuh kejujuran apa yang kurasa saat itu.
***
Adindaku adalah kekasihku, mantan kekasih tepatnya. Ah, atau apalah namanya. Dia adalah wanita terbaik, tercantik yang pernah aku kenal. Sayang,sejak tadi siang aku mendapat kabar bahwa ia telah telah berpulang kesisi Tuhan. Apalah daya manusia. Namun, sebagai seorang laki-laki tak akan kuperlihatkan kepedihan ini—kepada siapapun. Biar Tuhan saja yang tahu betapa dalam derita yang Ia tancapkan di hatiku.
***
Aku masih memandangi wajahnya. Sementara gadis itu masih tak memperdulikan keberadaanku di dekatnya. Ia masih diam, bahkan semakin diam. Mungkin karena itu, aku lebih berani menatapi wajahnya yang mempesona. Kupandangi lekat-lekat wajah itu. Sungguh! Ia begitu mirip dengan kekasihku. Aku tak bisa menyangkalnya. Aku pun tak bisa menolak sebuah rasa… Suka, mungkin. Atau cinta, mungkin. Aku tak tahu. Atau mungkin sekedar ingat kenangan-kenangan bersama Adindaku. Semakin dalam kutatap wajahnya, semakin dalam pula kesendirian yang kurasakan.
Aku masih memperhatikan gadis itu. Dan ia pun masih sama, tak peduli akan keberadaan dan perkataanku. Kudapati wajahnya masih mirip kekasihku. Tapi,….
“Hanya saja,..Ah,…” kucoba membuang segala rasa yang mengganggu pikiranku.
“Wajahnya begitu indah. Ya, jujur, ia lebih cantik darimu. Andai kau pernah melihat wajah Adindaku, tentu kau setuju dengan kata-kataku itu.” lanjutku.
“Di setiap wajahnya akan kau dapati keteduhan, kesejukan, dan kedamaian. Pada garis-garis mukanya, dapat kau temukan kelembutan dan kesetiaan tiada tara. Tak ada cahaya seterang pancaran wajahnya. Sungguh! Jika kau melihatnya walau hanya sekejap, kau akan mengakui kelebihannya atas dirimu,” ujarku.
Mulut ini berkata begitu saja tanpa mampu kehentikan. Entah apa yang sedang terjadi pada diriku.
“Andai kau melihatnya, melihat senyumnya,”—seketika mataku tertuju pada bibir merah gadis itu, dan kutemukan senyuman yang selalu kudapati di kedua bibir Adindaku—“Senyumnya… Puji Tuhan yang telah menciptakan senyum manis di kedua bibirnya. Senyum yang mampu hilangkan nestapa. Namun, senyum itu pula yang telah menyembunyikan deritanya dari pengetahuanku. Ya, derita atas penyakit yang ia alami. Penyakit yang membuatnya pergi.”
Kutatapi dalam-dalam gadis itu, tak ada perubahan di raut wajahnya, tidak juga di senyum kecilnya. Aku diam. Berdiri. Gadis itu pun masih diam di tempatnya, tidak beranjak sedikit pun.
Sejenak kubiarkan lagu-lagu yang mengalun menggema di lorong-lorong kelabu hatiku. Sejenak kubiarkan kesedihan dan kepedihan mengisi kekosongannya. Semakin lama, semakin kurasakan ketenangan. Maka, kubiarkan lagu-lagu itu mengalun lebih jauh menelusuri ruang hatiku. Kubiarkan pula duka lebih dalam lagi mengisi hatiku.
Aku masih dapati senyum di bibirnya, bibir gadis yang mirip kekasihku itu. Aku ingin ikut senyum, tapi tertahan. Bibirku tiba-tiba kaku.
“Dan…. Jika kau pernah bertemu dengannya,” lanjutku dengan suara yang mulai terbata-bata. “Kau akan disambutnya dengan kehangatan, keriangan… Serta kemanjaan…”
Kini, aku benar-benar tak mampu berkata-kata lagi. Kenangan-kenangan bersama Adindaku silih berganti hinggap di pikiranku.
Kucoba tenangkan diri, kuhirup nafas dalam-dalam. Lalu,…
“Kau yang mirip bidadariku. Kau…”
Tiba-tiba kurasakan telapak tangan mendarat pelan di pundak kananku. Meskipun pelan, tapi mampu membuatku tersentak.
“Aku turut berduka-cita,” ucap Yoga, sahabatku, sembari memegang kuat pundakku.
Saat itu, aku baru sadar sedang di mana aku berdiri. Di depanku, tergeletak tubuh Adindaku di di dalam keranda. Kucoba menatap jauh-jauh, tapi pandanganku selalu terhenti tepat di wajahnya yang semakin pucat. Darahku mengalir semakin deras. Mendesir kencang. Tubuhku mulai bergetar.
*Kau yang benar2 mirip dengan kekasih ku yang tlah tiada ..
menatap wajah mu seperti ku melihat Adindaku .
tapi kini ku mencintaimu melebihi Adindaku ,
karna ku tau kau bukan diri nya .
ku tak mungkin mencintai mu krna Adindaku .
Perlahan, aku digiring kesunyian mendekati gadis itu. Hingga kudapati wajahnya terlihat sangat jelas dari tempatku berdiri kini. Wajah yang tak asing, cantik, tapi tak kukenal.
“Hai!” sapaku pelan mencoba memulai pembicaraan.
Di luar dugaan, gadis itu diam saja. Sedikit pun tak dipalingkannya wajah ayu itu ke arahku. Kutunggu sesaat, tak jua kudapati balasan. Ya, gadis itu masih saja diam. Entah ia memang tak mendengar, atau pura-pura tak mendengar.
“Sejak tadi aku memperhatikanmu. Tatapanku tak mau lepas darimu walau sedetik pun,” kukatakan apa adanya.
“Awalnya, aku tak tahu mengapa. Sesaat tadi baru aku menyadarinya. Ya, aku baru sadar bahwa kau sangat mirip dengan Adindaku,” kukatakan dengan penuh kejujuran apa yang kurasa saat itu.
***
Adindaku adalah kekasihku, mantan kekasih tepatnya. Ah, atau apalah namanya. Dia adalah wanita terbaik, tercantik yang pernah aku kenal. Sayang,sejak tadi siang aku mendapat kabar bahwa ia telah telah berpulang kesisi Tuhan. Apalah daya manusia. Namun, sebagai seorang laki-laki tak akan kuperlihatkan kepedihan ini—kepada siapapun. Biar Tuhan saja yang tahu betapa dalam derita yang Ia tancapkan di hatiku.
***
Aku masih memandangi wajahnya. Sementara gadis itu masih tak memperdulikan keberadaanku di dekatnya. Ia masih diam, bahkan semakin diam. Mungkin karena itu, aku lebih berani menatapi wajahnya yang mempesona. Kupandangi lekat-lekat wajah itu. Sungguh! Ia begitu mirip dengan kekasihku. Aku tak bisa menyangkalnya. Aku pun tak bisa menolak sebuah rasa… Suka, mungkin. Atau cinta, mungkin. Aku tak tahu. Atau mungkin sekedar ingat kenangan-kenangan bersama Adindaku. Semakin dalam kutatap wajahnya, semakin dalam pula kesendirian yang kurasakan.
Aku masih memperhatikan gadis itu. Dan ia pun masih sama, tak peduli akan keberadaan dan perkataanku. Kudapati wajahnya masih mirip kekasihku. Tapi,….
“Hanya saja,..Ah,…” kucoba membuang segala rasa yang mengganggu pikiranku.
“Wajahnya begitu indah. Ya, jujur, ia lebih cantik darimu. Andai kau pernah melihat wajah Adindaku, tentu kau setuju dengan kata-kataku itu.” lanjutku.
“Di setiap wajahnya akan kau dapati keteduhan, kesejukan, dan kedamaian. Pada garis-garis mukanya, dapat kau temukan kelembutan dan kesetiaan tiada tara. Tak ada cahaya seterang pancaran wajahnya. Sungguh! Jika kau melihatnya walau hanya sekejap, kau akan mengakui kelebihannya atas dirimu,” ujarku.
Mulut ini berkata begitu saja tanpa mampu kehentikan. Entah apa yang sedang terjadi pada diriku.
“Andai kau melihatnya, melihat senyumnya,”—seketika mataku tertuju pada bibir merah gadis itu, dan kutemukan senyuman yang selalu kudapati di kedua bibir Adindaku—“Senyumnya… Puji Tuhan yang telah menciptakan senyum manis di kedua bibirnya. Senyum yang mampu hilangkan nestapa. Namun, senyum itu pula yang telah menyembunyikan deritanya dari pengetahuanku. Ya, derita atas penyakit yang ia alami. Penyakit yang membuatnya pergi.”
Kutatapi dalam-dalam gadis itu, tak ada perubahan di raut wajahnya, tidak juga di senyum kecilnya. Aku diam. Berdiri. Gadis itu pun masih diam di tempatnya, tidak beranjak sedikit pun.
Sejenak kubiarkan lagu-lagu yang mengalun menggema di lorong-lorong kelabu hatiku. Sejenak kubiarkan kesedihan dan kepedihan mengisi kekosongannya. Semakin lama, semakin kurasakan ketenangan. Maka, kubiarkan lagu-lagu itu mengalun lebih jauh menelusuri ruang hatiku. Kubiarkan pula duka lebih dalam lagi mengisi hatiku.
Aku masih dapati senyum di bibirnya, bibir gadis yang mirip kekasihku itu. Aku ingin ikut senyum, tapi tertahan. Bibirku tiba-tiba kaku.
“Dan…. Jika kau pernah bertemu dengannya,” lanjutku dengan suara yang mulai terbata-bata. “Kau akan disambutnya dengan kehangatan, keriangan… Serta kemanjaan…”
Kini, aku benar-benar tak mampu berkata-kata lagi. Kenangan-kenangan bersama Adindaku silih berganti hinggap di pikiranku.
Kucoba tenangkan diri, kuhirup nafas dalam-dalam. Lalu,…
“Kau yang mirip bidadariku. Kau…”
Tiba-tiba kurasakan telapak tangan mendarat pelan di pundak kananku. Meskipun pelan, tapi mampu membuatku tersentak.
“Aku turut berduka-cita,” ucap Yoga, sahabatku, sembari memegang kuat pundakku.
Saat itu, aku baru sadar sedang di mana aku berdiri. Di depanku, tergeletak tubuh Adindaku di di dalam keranda. Kucoba menatap jauh-jauh, tapi pandanganku selalu terhenti tepat di wajahnya yang semakin pucat. Darahku mengalir semakin deras. Mendesir kencang. Tubuhku mulai bergetar.
*Kau yang benar2 mirip dengan kekasih ku yang tlah tiada ..
menatap wajah mu seperti ku melihat Adindaku .
tapi kini ku mencintaimu melebihi Adindaku ,
karna ku tau kau bukan diri nya .
ku tak mungkin mencintai mu krna Adindaku .

Comments